Kolom
Beranda » Berita » Bertetangga Beda Bendera: Harmoni Nanga Badau dan Lubok Antu dalam Bayang Perbatasan

Bertetangga Beda Bendera: Harmoni Nanga Badau dan Lubok Antu dalam Bayang Perbatasan

Hamidin. (Foto: Humas BNPP RI)

Oleh Hamidin (Kelompok Ahli BNPP RI/Pengamat Perbatasan Negara)

Kala matahari perlahan terbit di ufuk timur, menyinari pepohonan tropis yang berselimut kabut, kehidupan di Kecamatan Nanga Badau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mulai menggeliat. Kicauan burung menjadi pengiring langkah anak-anak menuju sekolah, melintasi jalan setapak yang menghubungkan masa lalu, kini, dan harapan akan masa depan.

Nanga Badau bukan sekadar kawasan administratif di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ia adalah rumah bagi komunitas Dayak Iban, Dayak Kantuk, Dayak Embaloh, dan Melayu Kapuas Hulu, serta kelompok-kelompok budaya yang juga mendiami wilayah Lubok Antu di negara bagian Sarawak, Malaysia.

Garis batas negara tak lantas memisahkan mereka. Bahasa Iban masih menjadi alat komunikasi sehari-hari, selain Bahasa Indonesia dan Melayu. Ritual adat, hukum adat, hingga upacara Gawai Dayak dirayakan bersama dengan semangat yang sama, meski terpisah secara administratif.

Satu Hutan dalam Dua Negara

Di seberang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau, berdirilah Lubok Antu, Malaysia, yang tak jauh berbeda dari Nanga Badau. Rumah panjang masih berdiri kokoh sebagai simbol solidaritas sosial suku Dayak.

Meski secara administratif berbeda negara, masyarakat di kedua wilayah tetap menjunjung tinggi akar budaya dan persaudaraan yang telah lama terjalin.

Batas negara di sini lebih sering dipandang sebagai jembatan ketimbang sekat pemisah.

“Kami satu nenek moyang,” ucap para tetua rumah panjang, baik di Nanga Badau maupun Lubok Antu. “Kami baru disebut berbeda karena ada garis di peta. Tapi budaya kami tetap satu.”

Bagi masyarakat Dayak Iban, keberadaan garis batas hanyalah produk sejarah kolonial: Hindia Belanda di sisi Indonesia dan Inggris di sisi Malaysia. Sementara mereka sendiri sudah hidup berdampingan jauh sebelum republik dan federasi terbentuk.

Dari Jalur Tradisional ke PLBN Modern

Sebelum berdirinya PLBN Badau, aktivitas lintas batas antara Nanga Badau dan Lubok Antu berlangsung begitu cair. Warga bebas menyeberang untuk berobat, berdagang, atau bersilaturahmi tanpa harus memikirkan dokumen perjalanan.

Namun, situasi berubah sejak PLBN Badau diresmikan pada tahun 2017 oleh Presiden RI Joko Widodo. Kini, setiap perlintasan diatur secara resmi oleh prosedur imigrasi, bea cukai, karantina, dan keamanan.

Sebagian warga menyambut baik kehadiran PLBN sebagai simbol kehadiran negara dan kerapian administrasi. Mereka merasa lebih aman dan dihargai. Tapi tak sedikit pula yang merindukan masa lalu yang bebas dan cair, tanpa sekat birokrasi.

Aktivitas Lintas Batas yang Terus Berdenyut

Di pasar-pasar kecil Nanga Badau, pemandangan warga Malaysia yang berbelanja sudah menjadi hal biasa. Sebaliknya, tak sedikit warga Indonesia yang bekerja di sektor perkebunan dan konstruksi di wilayah Sarawak. Kegiatan lintas batas ini bukan semata urusan ekonomi, melainkan bagian dari ritme kehidupan masyarakat perbatasan.

Meski demikian, semangat nasionalisme tetap mengakar kuat. Identitas sebagai warga negara Indonesia tetap dijaga, meski aktivitas sehari-hari kerap membawa mereka melewati batas negara.

“Harga barang tertentu lebih murah di seberang. Klinik di sana juga lebih mudah dijangkau. Tapi bendera kami tetap merah putih. Kalau kami menyeberang, itu karena ingin sembuh, bukan karena tak cinta negara,” kata Bu Lena, pedagang sayur.

Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi

Modernisasi memang merambah Nanga Badau, namun nilai-nilai adat tetap dijunjung tinggi. Hukum adat masih berlaku dalam menyelesaikan sengketa. Kepala adat tetap dihormati dan menjadi panutan dalam komunitas. Rumah panjang bukan hanya tempat tinggal, tapi pusat kebudayaan yang terus dirawat dari generasi ke generasi.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Akses jalan yang belum sepenuhnya memadai, keterbatasan layanan pendidikan, dan sinyal internet yang tidak stabil masih menjadi kendala. Padahal, sebagai kawasan strategis perbatasan, Nanga Badau memiliki peran penting sebagai garda terdepan kedaulatan negara.

Membangun Harapan di Ujung Negeri

Kehadiran PLBN Badau membawa angin segar bagi pembangunan kawasan. Pemerintah merancang berbagai program pengembangan, mulai dari pasar bersama, terminal logistik, hingga pelatihan keterampilan dan jalur wisata lintas negara.

Namun harapan masyarakat tak berhenti di bangunan megah PLBN. Mereka mendambakan layanan publik yang merata dan pembangunan yang menjangkau hingga ke pelosok desa untuk generasi muda.

Nanga Badau adalah refleksi nyata tentang bagaimana batas negara bisa menjadi ruang pertemuan budaya dan kemanusiaan. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, masyarakatnya tetap menjaga warisan leluhur sekaligus terbuka terhadap perubahan. Mereka tidak hanya menjadi penjaga wilayah, tapi juga penjaga nilai-nilai persaudaraan, gotong royong, dan nasionalisme.

Di ujung negeri ini, batas bukanlah tembok. Ia adalah jembatan yang menyambungkan sejarah, manusia, dan masa depan. Nanga Badau dan Lubok Antu menjadi bukti nyata bahwa menjadi bertetangga meski berbeda bendera bukanlah penghalang untuk hidup dalam harmoni.

(Humas BNPP RI)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *