Telusur
Beranda » Berita » Refleksi Kehidupan dari Perbatasan, Tukik-Tukik di Pantai Tuturuga Raja Ampat

Refleksi Kehidupan dari Perbatasan, Tukik-Tukik di Pantai Tuturuga Raja Ampat

Tukik-Tukik di Pantai Tuturuga Raja Ampat. (Foto: Humas BNPP RI)

Langit biru membentang luas di atas Pantai Tuturuga, sebuah pesisir indah di Pulau Gak, Kecamatan Waigeo Barat, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Hari itu, kami bersama dua sahabat sesama Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI), Nurkholis dan Ali Hamdan Bogra.

Di hadapan kami, hamparan pasir putih berpadu dengan debur ombak, menyambut peristiwa sederhana namun menyentuh hati: pelepasan tukik-tukik mungil menuju samudera lepas.

Di atas pasir yang hangat, puluhan tukik merangkak perlahan meninggalkan jejak halus menuju laut. Setiap langkah kecil mereka seolah menyampaikan doa dan harapan agar kelak kembali sebagai penyu dewasa yang menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Seperti yang dikatakan oleh Nurkholis, mantan Ketua Komnas HAM RI, bahwa setiap tukik adalah simbol doa, perjuangan, dan keberlanjutan kehidupan.

Nama Tuturuga sendiri berasal dari bahasa Minahasa dan sebagian masyarakat Papua yang berarti penyu. Sejak ratusan tahun lalu, penyu telah menjadi bagian penting dari lanskap budaya dan ekologi kawasan ini.

Pantai ini menjadi tempat bertelurnya penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dua spesies penting yang kini terancam punah. Kehadiran mereka tidak sekadar fenomena alam, tetapi juga simbol kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.

Perjalanan hidup seekor tukik adalah pelajaran tentang keberanian. Baru menetas, tubuhnya yang rapuh dipaksa menghadapi dunia. Dari sarang pasir, ia harus berpacu menuju laut, melawan ancaman camar, kepiting, dan bahaya lain. Bahkan setelah mencapai ombak, tantangan tetap menanti: arus laut deras, ikan pemangsa, hingga ancaman sampah plastik.

Data konservasi menyebutkan, dari seribu tukik yang dilepas, hanya satu yang berpeluang bertahan hingga dewasa. Fakta ini membuat setiap langkah tukik menjadi gambaran nyata tentang ketabahan, pengorbanan, sekaligus harapan yang tak pernah padam.

Pelepasan tukik di Pantai Tuturuga bukanlah sekadar acara seremonial. Ia adalah pengingat bahwa ekosistem laut adalah jalinan kehidupan yang rapuh dan saling bergantung.

Penyu hijau berperan menjaga padang lamun agar tetap subur, sementara penyu sisik membantu mengontrol populasi spons sehingga terumbu karang tetap sehat. Hilangnya penyu akan mengganggu keseimbangan ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir.

Namun, ancaman nyata masih membayangi: perburuan telur, penangkapan ilegal, rusaknya habitat, hingga pencemaran plastik. IUCN bahkan menetapkan penyu hijau berstatus “terancam punah” dan penyu sisik “sangat terancam punah.” Karena itu, setiap pelepasan tukik adalah pesan moral: menjaga penyu berarti menjaga masa depan laut.

Momen pelepasan tukik ini juga melibatkan masyarakat lokal, anak-anak sekolah, dan wisatawan. Sorak kegembiraan ketika seekor tukik berhasil menyentuh ombak pertamanya melahirkan kebanggaan sekaligus rasa haru. Konservasi menjadi nyata ketika masyarakat merasa memiliki, bukan hanya slogan kosong.

Sebagai Kelompok Ahli BNPP RI, kami meyakini bahwa membicarakan perbatasan negara tidak hanya sebatas garis di peta atau strategi pertahanan. Perbatasan adalah ruang kehidupan, di mana manusia, alam, dan budaya saling terhubung.

Pertanyaan muncul di benak kami: ke mana tukik-tukik ini akan berenang? Apakah tetap di perairan Indonesia, melintas ke Papua Nugini, atau menjelajah samudera hingga lintas benua? Jawaban itu mengingatkan kita bahwa laut tidak memisahkan bangsa, melainkan menyatukan kehidupan. Sama seperti penyu yang bermigrasi ribuan kilometer, perbatasan adalah ruang keterhubungan yang harus dijaga dengan kearifan.

Tukik di Pantai Tuturuga memberi kita pelajaran mendalam: keberanian dimulai dari langkah kecil, perjuangan bernilai meski penuh risiko, dan keberlanjutan hanya tercapai bila semua pihak bersatu.

Sebagai bagian dari BNPP RI, kami melihat tukik bukan hanya satwa yang dilestarikan, tetapi juga metafora perjuangan bangsa. Sama seperti tukik yang kembali setelah ribuan kilometer perjalanan, setiap gagasan dan kebijakan di bidang pengelolaan perbatasan harus mampu kembali memberi kehidupan baru bagi negeri ini.

Jayalah perbatasan Indonesia! Sebab di sanalah doa, harapan, dan perjuangan bangsa terus mengalir, sama seperti tukik-tukik kecil yang berjuang menuju samudera luas.

(Drs Hamidin/Kelompok Ahli BNPP RI)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *