Telusur
Beranda » Berita » Mengenal Kain Tenun Lintas Negeri Menyatukan NTT Indonesia dan Timor Leste

Mengenal Kain Tenun Lintas Negeri Menyatukan NTT Indonesia dan Timor Leste

Kain tenun NTT/ilustrasi. (Foto: Tenun Timor)

Belu, NTT, 26 Agustus 2025 — Indonesia dikenal sebagai negeri sejuta budaya. Julukan itu bukan sekadar kebanggaan kosong, melainkan nyata dalam setiap tradisi yang diwariskan turun-temurun. Salah satu warisan budaya yang paling sarat makna adalah kain tenun.

Jika di negara-negara industri kain diproduksi massal oleh mesin modern, maka di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Timor Leste, selembar kain lahir dari ketekunan tangan perempuan desa.

Kapas dipintal menjadi benang, dicelup dengan pewarna alami dari akar, kulit kayu, atau daun, kemudian ditenun perlahan hingga membentuk motif penuh filosofi. Tidak ada yang instan–semuanya lahir dari kesabaran dan doa.

Suasana pasar tradisional di perbatasan Atambua–Maliana menjadi gambaran nyata persaudaraan lintas negara. Di antara aroma kopi panas dan jagung rebus, deretan kain tenun berwarna mencolok memikat mata.

Seorang ibu dari Atambua bisa dengan mudah bertukar kain dengan penenun asal Oecusse, Timor Leste. Di pasar ini, batas negara terasa kabur, digantikan oleh semangat kebersamaan yang diikat oleh selembar kain.

“Kami sering barter. Saya bawa tenun Maumere, mereka bawa Tais dari Oecusse. Kadang kami tak hitung harga, yang penting ada saling percaya,” kata seorang ibu di pasar.

Bagi masyarakat Timor Leste, kain tenun dikenal dengan sebutan Tais. Ia bukan sekadar pakaian, tetapi juga simbol penghormatan dan identitas nasional.

Tais disampirkan kepada tamu sebagai tanda penerimaan yang tulus. Bentuknya pun beragam: *Tais Mane* untuk laki-laki, *Tais Feto* untuk perempuan, hingga *Tais Ki’ik* yang sederhana. Motifnya terinspirasi flora, fauna, serta simbol spiritual, diwariskan dari generasi ke generasi.

Berbeda penyebutan, masyarakat NTT memiliki ragam tenun sesuai daerah. Di Sumba, motif kuda dan naga mendominasi. Di Maumere, coraknya menyerupai hujan dan pepohonan.

Sementara di Rote dan Sabu, bentuk geometris dan motif Buna menjadi kebanggaan. Bagi masyarakat setempat, menenun adalah doa yang dirangkai dalam benang. Setiap simpul diyakini membawa berkah bagi keluarga.

Meski berbeda nama, baik tenun NTT maupun Tais Timor Leste lahir dari akar budaya yang sama. Tekniknya sama-sama tenun ikat dengan pewarna alami, berfungsi dalam upacara adat, pernikahan, hingga simbol diplomasi.

Namun, ada perbedaan yang memperkaya karakter masing-masing. Di Timor Leste, Tais diakui sebagai simbol nasional dan pernah menjadi sarana perlawanan kultural. Sementara di NTT, tenun erat kaitannya dengan status sosial, mas kawin, dan pertukaran adat.

Di desa-desa NTT dan Oecusse, bunyi ritmis alat tenun masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Para perempuan menenun di antara aktivitas rumah tangga, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan. Tradisi ini tidak hanya menghasilkan kain, tetapi juga membentuk identitas dan rasa kebersamaan.

Arus modernisasi membawa tantangan baru. Anak muda mulai enggan menenun, lebih memilih bekerja di kota. Pewarna sintetis juga semakin banyak digunakan, menggeser filosofi pewarna alami.

Meski begitu, peluang juga terbuka. Tenun kini dilirik oleh dunia mode, tampil di panggung internasional dan butik Eropa. Jika potensi ini dikelola dengan baik, tradisi bisa tetap hidup sekaligus meningkatkan kesejahteraan penenun.

Selembar kain tenun bukan hanya hasil karya seni, tetapi juga simbol persaudaraan lintas batas. Ia mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan cinta. Tais dari Timor Leste dan tenun NTT membuktikan bahwa budaya mampu melampaui sekat geografis dan politik.

Dari sehelai kain, kita belajar bahwa garis perbatasan hanyalah peta. Yang sesungguhnya menyatukan adalah ikatan budaya, persaudaraan, dan warisan leluhur yang terus dipintal dari generasi ke generasi.

(Hamidin/Kelompok Ahli BNPP RI)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *