Ekonomi
Beranda » Berita » Fondasi Ketahanan Pangan Nasional, Prof Rokhmin Dorong Blue Food Indonesia Dimaksimalkan

Fondasi Ketahanan Pangan Nasional, Prof Rokhmin Dorong Blue Food Indonesia Dimaksimalkan

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, M.S. dalam podcast bertajuk “Blue Food Indonesia Nomor 1 Dunia untuk Ketahanan Pangan” di Youtube yang dipandu oleh praktisi dan pengamat lingkungan hidup, Prof. Hadi Sukadi Alikodra, dikutip pada Senin (1/9/2025). (Foto: Istimewa)

Jakarta, 1 September 2025 — Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, M.S., menyoroti potensi luar biasa ekosistem perairan Indonesia dalam menopang kebutuhan pangan nasional maupun global. Potensi ini mulai dari laut hingga tambak dan kolam bioflok yang mampu menghasilkan hingga 115 juta ton pangan per tahun.

“Potensi produksi maritim dan akuakultur Indonesia mencapai 115 juta ton per tahun, jauh melampaui kebutuhan konsumsi domestik yang hanya sekitar 14–15 juta ton,” kata Prof Rokhmin Dahuri dalam podcast bertajuk “Blue Food Indonesia Nomor 1 Dunia untuk Ketahanan Pangan” di Youtube yang dipandu oleh praktisi dan pengamat lingkungan hidup, Prof. Hadi Sukadi Alikodra, dikutip pada Senin (1/9/2025).

Menurut Prof Rokhmin, surplus tersebut menjadikan Indonesia salah satu eksportir utama dengan nilai surplus neraca perdagangan perikanan mencapai USD 5,8 miliar per tahun.

“Potensi produksi maritim dan akuakultur Indonesia mencapai 115 juta ton per tahun, jauh melampaui kebutuhan konsumsi domestik yang hanya sekitar 14–15 juta ton,” ujar Rektor Universitas UMMI Bogor ini, dikutip Senin (1/9).

Lebih dari sekadar statistik, Prof Rokhmin mengaitkan urgensi kemandirian pangan dengan pidato historis Presiden RI Soekarno tahun 1957, “Pangan adalah hidup dan mati suatu bangsa.” Artinya pangan itu menentukan maju mundurnya sebuah bangsa. Sehingga kemandirian pangan menjadi syarat mutlak menuju negara maju.

Rektor Universitas UMMI Bogor ini menekankan bahwa ketergantungan pada impor pangan, terutama gandum, menghambat kemajuan bangsa. Sebagai solusi, ia mendorong pengembangan alternatif lokal seperti sagu, sorgum, dan porang yang dinilai lebih kaya karbohidrat dan cocok dengan agroekologi Indonesia.

“Tahun 2000 FAO melakukan penelitian tentang pangan. Kalau negara dengan 100 juta penduduknya pangannya bergantung pada impor itu impossible untuk bisa menjadi negara maju dan makmur,” kata Prof Rokhmin menegaskan.

Menurut Prof Rokhmin, pangan itu menentukan kesehatan, kecerdasan, masa depan bangsa. Karena kalau individu rakyat sebuah negara itu terkena stunting, gizi buruk, segala macam penyakit tidak mungkin SDM nya unggul. Ia menegaskan, Komisi IV DPR mendukung penuh gerakan Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan mengawasi agar on the track.

“Kami nilai Insya Allah beras, jagung bisa. Kalau ikan sudah rajanya sejak dulu sejak saya menjadi menteri, neraca perdagangan selalu positif. Kita impor hanya 5 persen dari kebutuhan. Itupun sebagian besar dalam bentuk tepung ikan. Karena memang rajanya tepung ikan itu Peru dari ikan ancofi,” jelas Prof Rokhmin.

Pada tahun 2025 ini, lanjut Prof Rokhmin, Indonesia bisa swasembada beras, jagung, singkong. Sementara daging belum walaupun potensinya bagus. Pada tahun 2027 paling lambat Indonesia bisa swasembada kedelai. Tetapi kalau gandum tidak mungkin karena secara agroekologi tidak bisa ditanam di Indonesia.

“Tetapi Komisi IV DPR mendorong tanaman pangan yang mengandung karbon hidrat lebih tinggi dari gandum, misalnya sorgum dan sagu,” kata Prof Rohkmin.

Prof Rokhmin mengungkapkan Prof Buntoro pernah melakukan penelitian RIOS sejak 5 tahun terakhir dan sudah berkembang bahwa sagu itu bisa untuk mie serta tidak kalah dengan Indomie yang terbuat dari gandum.

Dalam 20 tahun terakhir, sambung Prof Rokhmin, impor gandum selalu meningkat dan tahun lalu sudah 13 ton. Jadi, komposisi gandum di pakan karbohidrat Indonesia sekarang sudah 50 persen. Kalau dulu pada tahun 70-an hanya 2 persen. “Kenapa kita tidak kembangkan sagu, sorgum, kemudian porang dan seterusnya?” tukasnya.

Kemudian, Prof Rokhmin memaparkan tentang blue food, yaitu semua jenis pangan yang berasal dari ekosistem perairan. Tidak hanya dari ekosistem laut, tetapi juga perairan tawar. Seperti payau ada tambak, waduk, karamba jaring terapung yang ramah lingkungan bisa menghasilkan jutaan ton ikan. Selanjutnya di darat ada kolam dengan sistem bioflok dengan drum-drum atau denah HDPE.

“Yang lebih penting blue food itu bukan hanya berasal dari budidaya, terapi dari penangkapan pun termasuk blue food. Potensinya nomor satu di dunia,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Menurut penelitian terakhir, sambung Prof Rokhmin, produksi perikanan Indonesia yang mencakup perikanan tambak dan perikanan budidaya itu sekitar 115 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan konsumsi nasional rata-rata baru 50kg. Jika 50kg dikalikan 285 juta penduduk sekitar 15 juta ton. Berarti masih surplus 100 juta ton.

“Dalam neraca perdagangan perikanan kita 90 persen surplus. Artinya kita impor hanya 200 juta, kita ekspor 6 miliar US dolar. Kita surplus 5,8 miliar US dolar dari produksi perikanan,” tukas Prof Rokhmin.

Kedua, modus operandinya untuk produksinya melalui penangkapan atau budidaya. Ketiga, selama ini dikenal blue food itu hanya empat jenis. 1. Dari jenis fish-nya, ikan-ikanan, Indonesia punya ribuan spesies. 2. Dari Molas atau kekerangan Moluska ada kerang hijau, balon, kerang darah. 3. Krustasian, yaitu udang, kepiting rajungan, lobster, dan seterusnya. 4. Rumput laut atau makroalge dan microalge. “Tetapi kita lupa bahwa ada invertebrate, seperti model tripang, jenis-jenis lain yang terkenal bergizi,” ujarnya.

Prof Rokhmin juga menyoroti pentingnya inovasi bioteknologi seperti genom editing dan DNA sequencing untuk menciptakan varietas pangan yang tahan salinitas, bahkan memungkinkan budidaya padi di laut seperti yang telah dilakukan di China.

Prof Rokhmin mengungkapkan di China dalam 10 tahun terakhir padi sudah dikembangkan menjadi budidaya di perairan laut. Maka, lanjutnya, di sinilah pentingnya generic engineering berupa genom editing. Kemudian DNA sequencing dengan memilah DNA makhluk hidup lalu di DNA rekombinan (biopropective). “Teknologi yang tersedia tergabung di dalam bioteknologi itu sudah mampu menghasilkan bibit-bibit padi yang tahan untuk salinitas tinggi dan cocok untuk perairan laut.”

Selain menjadi solusi kemandirian, pangan biru dinilai Prof Rokhmin sebagai opsi paling berkelanjutan karena memiliki jejak karbon terendah dibandingkan sumber pangan lain. “Jejak karbon pangan biru adalah yang terendah,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004 ini.

Dalam konteks global warming dan krisis lingkungan, pangan biru juga dinilai sebagai opsi paling berkelanjutan. Jejak karbonnya jauh lebih rendah dibandingkan sumber pangan lain, menjadikannya pilihan strategis untuk masa depan.

Prof Rokhmin juga menekankan pentingnya mengoptimalkan sektor ini agar menjadi game changer dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

“Akuakultur atau pangan biru bisa menjadi game changer bagi masa depan Indonesia,” tandas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Sebagai penutup, Prof Rokhmin menegaskan bahwa daya saing produk Indonesia harus memenuhi empat syarat: kualitas unggul, harga kompetitif, suplai berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Semua sektor dari kelautan hingga pertanian dan energi harus berkontribusi dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Pertama, kualitasnya harus top. Indonesia bisa menghasilkan tekstil, udang, kayu, apapun harus top quality. Kedua, harganya reaktif murah. Ketiga, produksi atau suplainya harus reguler dan berkelanjutan. “Jangan mampu memproduksi setahun, tahun keduanya drop. Kita kontrak kerja dengan importir tidak dipercaya lagi,” ujar Prof Rokhmin mengingatkan.

Keempat, di era global warming dan makin terbatasnya bumi ini terkait ramah lingkungan. Prof Rokhmin mengingatkan, kalau bangsa Indonesia mau maju, berdaya saing dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan paling lambat 2045, maka semua perusahaan, semua sektor kelautan dan perikanan, pertanian, pertambangan, energi atau SDM, industri harus menghasilkan produk yang bersaing.

(***)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *