Jakarta, 15 September 2025 — Pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia tidak hanya soal menjaga kedaulatan, tapi juga menyangkut perlindungan bagi warga negara, terutama pekerja migran Indonesia (PMI) yang kerap menghadapi risiko di luar negeri. Dalam konteks ini, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) menjadi titik krusial bagi pengelolaan deportasi, repatriasi, serta pemulangan jenazah PMI dan warga negara lainnya.
Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI, Komjen Pol. Makhruzi Rahman, menyatakan bahwa pengelolaan deportasi dan repatriasi PMI melalui PLBN menghadirkan tantangan yang cukup kompleks.
“Masalah utama yang kami hadapi adalah banyaknya PMI yang tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah atau menggunakan dokumen keimigrasian palsu. Ada juga yang menyalahgunakan visa kunjungan untuk bekerja secara ilegal,” ujar Komjen Makhruzi, Senin (15/9/2025).
Kondisi ini, menurut Komjen Makhruzi, diperparah dengan adanya keterlibatan sebagian PMI dalam aktivitas kejahatan lintas negara seperti terorisme dan kejahatan terorganisasi lainnya, serta masa izin tinggal kunjungan yang telah berakhir. “Kombinasi masalah ini menyebabkan jumlah deportasi yang kami tangani sangat tinggi,” jelasnya.
Data yang dihimpun dari PLBN Entikong menjadi bukti nyata tantangan tersebut. Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 4.611 PMI dideportasi melalui PLBN ini. Selain itu, sebanyak 133 PMI dipulangkan secara repatriasi dan 197 jenazah juga harus dimakamkan di tanah air, menunjukkan dimensi kemanusiaan yang harus dihadapi petugas di perbatasan. Pada Januari hingga Agustus 2025, angka deportasi tetap tinggi, yakni mencapai 3.165 orang.
Tak hanya itu, kasus pemulangan jenazah juga tidak terbatas pada WNI. Pada 14 Januari 2025, misalnya, PLBN Skouw memfasilitasi pemulangan jenazah warga negara Malaysia yang meninggal di Papua Nugini akibat sakit, diterbangkan ke Sarawak melalui Bandara Sentani, Jayapura. “Ini menunjukkan betapa kompleksnya tugas kami di perbatasan yang tidak hanya soal keamanan, tapi juga aspek kemanusiaan,” kata Komjen Makhruzi.
Namun di balik data angka tersebut, ada fenomena yang memerlukan perhatian khusus, yakni keberadaan jalur lintas batas tidak resmi yang kerap digunakan PMI ilegal untuk masuk ke Malaysia. “Mereka memilih jalur ini untuk menghindari pemeriksaan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi jalur ini juga bisa disalahgunakan untuk aktivitas negatif yang merugikan negara,” jelasnya.
Melihat kondisi yang demikian, BNPP mengusulkan serangkaian langkah strategis yang fokus pada fasilitasi dan koordinasi antarlembaga terkait. Menurut Komjen Makhruzi, perlu ada operasi bersama di jalur perlintasan tidak resmi, sekaligus meningkatkan kapasitas petugas garis depan melalui pelatihan khusus agar lebih siap mengenali modus-modus pelintas ilegal, termasuk penyalahgunaan visa kunjungan.
Selain itu, BNPP juga mengajukan pentingnya pertemuan rutin antar-pemangku kepentingan di level tinggi, termasuk antara BNPP, instansi CIQ (Customs, Immigration, Quarantine), dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) atau Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Pertemuan ini bertujuan membahas isu strategis dan kasus terkini yang muncul di perbatasan.
Tidak kalah penting, BNPP merekomendasikan agar pertukaran data dan informasi antar-lembaga dapat berjalan lancar untuk mempercepat dan memudahkan penanganan deportasi, repatriasi, serta pemulangan jenazah. Fasilitasi penyediaan rumah karantina sementara atau rumah detensi di PLBN atau lokasi milik pemerintah daerah juga dianggap perlu untuk mendukung proses pasca pemulangan.
“Kami juga mengusulkan penyusunan Standar Operasi Prosedur (SOP) yang jelas dan terintegrasi, mulai dari penanganan PMI setibanya di PLBN sampai pemulangan ke daerah asalnya. Bahkan, kami melihat perlunya mekanisme punishment, misalnya blacklist bagi pelintas deportan selama kurun waktu tertentu agar ada efek jera,” imbuh Komjen Makhruzi.
Keberadaan BNPP bukan tanpa dasar hukum yang kuat. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 dan Perpres Nomor 44 Tahun 2017, BNPP diamanatkan sebagai badan tunggal yang mengelola kawasan perbatasan secara menyeluruh di seluruh Indonesia. Dengan peran strategis ini, BNPP berkomitmen menjaga keamanan perbatasan sekaligus melindungi hak dan keselamatan PMI.
Melalui upaya sinergi dan fasilitasi yang diusulkan BNPP, diharapkan proses penanganan deportasi dan repatriasi di PLBN dapat menjadi lebih efektif, tertib, dan manusiawi.
“Kami ingin memastikan bahwa setiap PMI yang dipulangkan diperlakukan dengan adil dan bermartabat, serta memperkuat kedaulatan dan keamanan di perbatasan Indonesia,” kata Komjen Makhruzi menandaskan.
(***)
Komentar