Telusur
Beranda » Berita » Pusaka Perbatasan yang Menjadi Saksi Ikatan Kekerabatan: Gading Gajah di Ujung Timor

Pusaka Perbatasan yang Menjadi Saksi Ikatan Kekerabatan: Gading Gajah di Ujung Timor

Gading gajah di Timor. (Foto: ytprayeh.com)

Di sebuah desa kecil di pedalaman Timor, dekat garis perbatasan Indonesia dengan Timor Leste, tradisi adat masih hidup dengan kuat. Rumah bulat beratap ilalang menjadi saksi pertemuan keluarga besar, tempat suara gong bertalu, anak-anak berlarian, dan pusaka berharga ditampilkan: sepasang gading gajah berusia ratusan tahun.

Gading itu bukan sekadar benda mati. Ia adalah belis, pusaka leluhur yang melambangkan kehormatan sekaligus pengikat kekerabatan dalam perkawinan adat masyarakat Timor.

Dalam tradisi ini, perkawinan dipandang lebih dari sekadar penyatuan dua insan. Ia adalah perjanjian abadi antara dua marga, dua rumpun, bahkan dua sejarah keluarga.

Dalam bahasa Tetun, belis disebut barlake, sementara dalam bahasa Dawan dikenal dengan istilah nafoni. Wujud belis dapat berupa sapi, kerbau, kuda, emas, atau kain tenun ikat. Namun, gading gajah selalu menempati posisi tertinggi sebagai simbol penghormatan.

Keberadaan gading di Timor merupakan warisan jalur perdagangan laut pada abad ke-16 hingga 19. Para pedagang dari Jawa, Malaka, India, hingga Afrika Timur membawa gading sebagai komoditas bernilai tinggi.

Oleh bangsawan Timor, benda ini segera dipandang sakral, dijadikan pusaka keluarga, dan diwariskan lintas generasi. Hingga kini, gading yang digunakan hampir seluruhnya adalah peninggalan lama dari masa kolonial.

Dalam bahasa Tetun, gading disebut bibi nia banan atau taring gajah. Ia melambangkan kekuatan, kesuburan, dan martabat. Namun di balik itu, gading juga berfungsi sebagai jembatan persaudaraan.

Dalam banyak upacara adat, gading hanya dipinjamkan. Setelah prosesi selesai, gading dikembalikan, tetapi ikatan antara dua keluarga tetap terjalin erat.

Seperti dalam sebuah upacara adat di Belu pada 2019, gading menjadi pusat perhatian. Meski hanya sepasang gading tua yang ditampilkan, benda itu menjadi simbol sakral yang mengesahkan ikatan antara dua keluarga. Sejak saat itu, mereka dipandang sebagai satu rumpun besar.

Seorang pemuda dari Atambua melamar gadis dari desa tetangga, tak jauh dari pos lintas batas. Rombongan belis tiba dengan membawa sapi, kain tenun, dan sepasang gading tua.

Di tengah rumah bulat, gading itu diletakkan. Tetua adat menepuknya perlahan, lalu berkata dalam bahasa Tetun: “Bibi nia banan nee labele seluk, nee lulik. Agora ita boot sira rua hetan lia-na’in foun” yang artinya “Gading ini tidak bisa diganti, ini benda suci. Kini kalian berdua memperoleh ikatan baru”.

Kini, tradisi belis dengan gading menghadapi tantangan. Undang-undang melarang perdagangan gading karena gajah adalah satwa dilindungi. Tak ada lagi gading baru yang boleh masuk Timor. Yang tersisa hanyalah pusaka lama, dijaga dengan penuh hormat.

Kondisi ekonomi juga mendorong beberapa keluarga mengganti belis dengan emas, uang, atau hewan besar. Namun setiap kali penggantian dilakukan, masyarakat adat selalu menegaskan bahwa itu hanya “pengganti gading”, bukan gading itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa makna simbolis gading tetap menempati tempat tertinggi dalam struktur adat Timor.

Hingga kini, di rumah-rumah adat Belu dan Malaka, gading gajah masih tersimpan rapi. Ia hanya diturunkan pada momen sakral, menjadi pengingat bahwa perkawinan adalah penyatuan dua keluarga besar, bahkan dua bangsa di perbatasan.

Lebih dari sekadar pusaka, gading gajah adalah penjaga memori kolektif masyarakat Timor, simbol persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah arus perubahan, gading tetap berdiri sebagai saksi abadi dari ikatan adat yang mengakar kuat di perbatasan Indonesia–Timor Leste.

(Drs. Hamidin/Kelompok Ahli BNPP RI)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *